Bapak dan Idul Adha

Suara takbir dari mesjid sebelah di malam Idul Adha seperti saat ini mengetuk – ngetuk ruang rindu yang awalnya tenang. Teringat almarhum bapak saya dan peristiwa-peristiwa Idul adha terdahulu. Sekaligus membayangkan seperti apa keadaan saat ini jika beliau masih ada.

Saya teringat Idul Adha 2 tahun lalu. Di malam seperti malam ini saya berdebat dengan bapak saya yang memaksa ingin pergi memantau sendiri persiapan panitia kurban. Saya memintanya memantau dari rumah saja lalu besok datang memandu langsung. Fyi, saat itu beliau baru keluar setelah 9 hari sebelumnya dirawat di RS dengan 3 hari diantaranya di ICU karena terkena serangan jantung.

Bapak yang bersikeras pergi akhirnya saya izinkan dengan diantar oleh ojek langganan saya. Jarak ke lokasi barangkali dekat, namun saya khawatir dia lemas untuk berjalan sendiri.

Begitulah bapak saya, almarhum adalah orang yang aktif semasa hidupnya. Masa2 Idul Adha adalah masa dimana almarhum biasanya stand by membantu uwa saya yang ketua DKM mesjid setempat.

Maklum, pemotongan hewan kurban melibatkan banyak pekerja dan masyarakat dengan segala macam isi kepala.
Benar saja, di Idul Adha terakhir beliau ada kejadian gak menyenangkan dimana ada warga yang mengembalikan pembagian daging untuk 1 RT ke panitia karena miskomunikasi. Padahal yang protes cuma mantu salah satu rumah dan bukan domisili setempat. Nah urusan2 yang begitu bagian bapak saya tuh yang beresin. Gemes ngeri bapak yang baru keluar RS itu naik tensi. Tapi sukur berujung dengan baik.

Idul Adha tanpa almarhum ini adalah kali kedua. Setelah beliau wafat di bulan Desember. Di rumah gak ada yang sibuk riweuh kayak si bapak *_*

Bener deh suara takbir ini mengusik rindu dan memicu saya berandai-andai andaikan almarhum masih ada.

Semoga doa-doa yang kerap saya panjatnya tiba menjadi kebaikan almarhum. Ya Allah, kabulkan doa2 hamba dan jadikanlah kebaikan bagi almarhum. Amin

pak..sate pak… *_*

Penyambung Rindu

Barangkali rindu yang tak akan pernah sirna adalah rindu kepada orang tua kita yang telah tiada. Itu karena semakin lama waktu berjalan, perasaan seseorang kepada orang tuanya (umumnya) tak pernah sirna, tak pernah terlupakan, tak pernah surut. Tidak seperti cinta kepada lawan jenis yang barangkali bisa saja surut tergerus waktu, kepada orang tua perasaan seorang anak memiliki siklusnya sendiri.

Saya adalah satu dari sekian milyar anak manusia yang sudah merasakan kehilangan orang tua (bapak). Dalam kasus saya kehilangan ini terjadi akibat datangnya maut, hadirnya kematian yang memisahkan.

Continue reading